MOVIE

MOVIE REVIEW: PENGEPUNGAN DI BUKIT DURI

Pengepungan di Bukit Duri merupakan film terbaru dari Joko Anwar yang tayang perdana pada 17 April 2025 kemarin. Saya malah baru mengetahui keberadaan film ini dari beberapa updated stories teman di Instagram, dan saat itu juga saya langsung cek trailer-nya yang ternyata cukup menjanjikan, yaitu thriller dengan tema rasisme di Indonesia yang cukup sensitif dan kondisi kacau balau Jakarta dalam dystopia. Pada hari kedua penayangan akhirnya saya putuskan untuk menontonnya di malam hari bersama suami. Suasana bioskop sangat ramai karena bertepatan dengan long weekend dan tayang bareng dengan beberapa film lokal yang lain yang cukup banyak peminat.

Sempat khawatir karena kami datang mepet dan ternyata antrian tiket cukup panjang. Ya, memang harusnya pesan tiket online saja, namun kami kira bioskop ngga ramai-ramai amat jadi memutuskan untuk beli langsung di loket :D. Kekhawatiran kami hanya karena takut ketinggalan untuk melihat opening logo singa mengaum ciri khas MGM yang cukup legendaris itu. Ya, maklum saja, kami ngga mau ketinggalan momen untuk menyaksikan film Indonesia pertama yang ada opening MGM-nya :D.

Adegan pertama langsung dibuka dengan suasana SMA di tahun 2009 yang cukup membuat para generasi milenial untuk bernostalgia, namun alur cerita dibuat cepat tanpa babibu langsung disuguhi adegan kerusuhan massa yang disebabkan isu rasisme pribumi dengan Cina seperti kerusuhan Mei 1998, dan seperti yang kita tahu bahwa setiap kerusuhan pada umumnya pasti berakhir dengan tragis.

Edwin (Morgan Oey), menjadi saksi pemerkosaan kakaknya yang bernama Silvi, yang saya kira sudah meninggal pada waktu kerusuhan, tapi ternyata hamil dan melahirkan anak yang diadopsi oleh orang lain. Hal tersebut menjadikan plot inti dari film ini, yang mana Edwin berjanji kepada kakaknya untuk mencari anak kakaknya di salah satu SMA di daerah Jakarta Timur. Janji kepada kakaknya itu lah yang membuat Edwin sebagai guru pengganti berpindah-pindah sekolah, yang pada akhirnya berlabuh di SMA Duri pada tahun 2027, dan menjadi harapan terakhir Edwin untuk menemukan keponakannya.

SMA Duri merupakan sebuah sekolah dengan reputasi untuk anak-anak buangan dan anak-anak nakal yang ditolak oleh sekolah-sekolah lainnya yang di dunia dystopia-nya Joko Anwar digambarkan dengan sangat brutal kenakalannya.

Ekspetasi saya terhadap Morgan yang sudah dewasa akan menjadi Vigilante yang jago bela diri ternyata keliru, memang bisa bela diri tapi tidak jago dan bernyali seperti Mad Dog. Beberapa konflik perkelahian, pengeroyokan, dan kekerasan banyak menghiasi awal film tapi porsi tidak terlalu banyak. Ketegangan lebih banyak dibangun dari teror kerusuhan yang berakar kebencian berlandaskan sentimen rasisme dan kondisi kota yang berantakan. 

Seperti biasa set properti film yang mendetail sesuai tema film, akting actor dan aktris yang oke banget, pengambilan gambar dari Joko Anwar yang selalu memanjakan mata dengan angle yang estetik, dan tidak lupa homage famous trunk shot dari Quentin Tarantino.

Sedangkan untuk klimaks plotnya saat Edwin terkepung oleh murid-murid berandal yang dipimpin oleh Jefri (Omara Esteghlal) di gelanggang/ruangan olahraga bersama guru BK Diana (Hana Malasan), dan dua muridnya, Khristo Ramli (Endy Arfian) dan Rangga (Fatih Unru), suasana pengepungan, claustrophobia (meski gelanggang olah raganya sangat luas), dan proses negosiasi langsung mengingatkan saya pada Film Green Room (2015), minus senjata api dan anjing. Sampai film mendekati twist ending entah kenapa masih teringat dengan Green Room, yang mungkin akan saya rewatch malam ini.

RIP Anton Yelchin

Pengepungan di Bukit Duri sangat saya rekomendasikan untuk segera ditonton. Satu kata untuk film ini: GILA! Thriller terasa lebih mencekam dibandingkan dengan film horor dedemitan. Sepanjang film para penonton dibuat deg-degan, ngos-ngosan, tak jarang pula saya dan sederet orang menutup mata dengan jaket karena ketakutan. Namun, saya ngga merekomendasikan film ini untuk ditonton oleh orang yang memiliki trauma akan kerusuhan tahun 1998, perkosaan, kekerasan, dan juga penyiksaan.

Good job, Om Joko!

Views: 0

Leave a Reply